Feedback via the Tulis Artikel
Isi Artikel*: | Dahlan Iskan dan Manajemen Musyrik di KRL Jabodetabek * Surat terbuka kepada Bapak Dahlan Iskan dari penumpang setia KRL Commuter Line Jabodetabek * Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Teriring salam sejahtera, semoga Bapak Menteri selalu dalam lindungan Allah SWT dan senantiasa dalam keadaan sehat wal afiat sehingga secara berkala dapat terus menerus melakukan sidak (inspeksi mendadak) dengan merasakan langsung menaiki rangkaian kereta KRL Commuter Line Jabodetabek untuk mengetahui dengan persis bagaimana tingkat kinerja pelayanannya. Sungguh, sidak bapak tempo hari itu secara sontak telah memberikan dampak langsung yang sangat signifikan terhadap tingkat kinerja pelayanannya KRL Commuter Line Jabodetabek. Kondisi gerbong yang selama bertahun-tahun ini selalu penuh sesak oleh penumpangnya, hingga bak ikan sarden yang dijejalkan didalam kalengnya, secara mendadak sontak, bak sulap mantra alakazam adakadabra, menjadi cukup longgar lantaran sidak bapak tersebut. Namun alangkah sungguh sayangnya, dampak itu hanya mampu bertahan dalam hitungan 1-2 hari saja. Selebih harinya, kembali ke kondisi klasik yang menahun, penumpang dijejal-jejalkan kembali ke dalam gerbong yang jarak headway antar rangkaiannya sungguh sangat tak memadai. Berkait dengan itu, maka dengan hormat bersama ini mohon ijin untuk menyampaikan uneg-uneg dari salah seorang pengguna jasa KRL Jabodetabek, sembari tak lupa teriring juga dengan permohonan dibukakan pintu maaf yang selebar-lebarnya jika ternyata surat ini membuat bapak Menteri dan jajaran birokrasi terkait menjadi tidak berkenan hati karenanya. Perlu bapak ketahui, kondisi yang akan disampaikan berikut ini, bukanlah kondisi pelayanan KRL kelas ekonomi non-AC yang bapak naiki tempo hari itu. Namun kondisi kelas Commuter Line AC, yang harga tiketnya tiga kali lipat harga tiket kelas ekonomi Non-AC. Jadi, jika pelayanan kelas Commuter Line AC yang bisa dikatakan masih sangatlah jauh dari level sekedar layak saja, maka bisa dibayangkan betapa para penumpang KRL kelas ekonomi non-AC yang juga masih merupakan warganegara Republik Indonesia itu yang selama ini memanglah tepat jika sampai dikatakan sebagai telah diperlakukan bak hewan kambing saja layaknya. Bagaimana tidak, jika gerbong yang disediakan untuk mereka para penumpang KRL kelas ekonomi non-AC adalah gerbong sisa dan bekas serta kanibalan yang asal jalan saja. Dimana pintu dan jendelanya tak berfungsi, bahkan beberapa tak dilengkapi pintu dan jendela bertutup, lantai gerbong yang bopeng-bopeng, serta situasi kumuh lainnya. Jika banyak kalangan suka mengelus dada tanda prihatin dengan kondisi fisik bus kota Metromini, maka kondisi gerbong KRL Jabodetabek kelas ekonomi non-AC ini boleh dikatakan sepuluh kali lipat lebih memprihatinkan. Kondisi para penumpangnya juga tak kalah sengsaranya, berjejalan tapi tak disediakan pegangan tangan yang memadai. Hebatnya lagi, ditengah kondisi yang demikian itu, masih harus ditambah lagi dengan kehadiran para pedagang asongan, pengamen, pengemis, yang memaksa menyeruak menerobos hilir mudik didalam gerbong tersebut. Singkat kata, mungkin hewan kambing pun tak layak mendapatkan fasilitas alat moda transportasi yang seperti ini, KRL Jobodetabek kelas Ekonomi Non-AC itu. Lalu bagaimana dengan kondisi penumpang KRL Jobodetabek kelas Commuter Line AC itu ?. Alhamdulillahirrobbilalamin, kondisinya lebih baik dari kondisi penumpang KRL Jabodetabek kelas Ekonomi Non-AC itu. Maka, sungguh sebagai hamba-Nya yang telah diberikan kelonggaran rejeki sehingga bisa menjadi penumpang KRL Jabodetabek kelas Commuter Line AC, maka anugerah 'kenyamanan' itu sangat perlu disyukuri, jika diperbandingkan dengan musibah 'kesengsaraan' yang diterima oleh sesama warganegara Republik Indonesia yang terpaksa menjadi penumpang KRL Jabodetabek kelas Ekonomi Non-AC itu. Harus disyukuri, apapun juga itu adalah sesuatu anugerah-Nya yang harus disyukuri, yang kalau tidak bersyukur maka akan menjadi hamba-Nya yang kufur nikmat. Bukankah begitu pak menteri ?. MANAJEMEN OPERASI Seperti yang sudah dimahfumi bersama yang dapat dibaca dibanyak di berita media massa, bahwasanya KRL Jabodetabek, bukan hanya yang kelas Ekonomi Non-AC saja, tapi yang kelas Commuter Linen AC pun juga mengalami hal yang nyaris sama ini seringkali mengalami banyak gangguan. Mulai dari yang paling 'ringan' seperti dilempari batu oleh para penghuni ruli-ruli di sepanjang jalur rel kereta api, fasilitas AC yang tak dingin. Lalu yang 'sedang-sedang' saja seperti jadwal molor, jadwal dibatalkan, sinyal dan wesel yang ngadat. Kemudian sampai yang taraf 'berat' seperti korsleting listrik yang membuat terjadinya percikan api di gerbongnya, kecopetan, pelecehan seksual karena situasi yang memaksa penumpang berdiri berhimpit-himpitan mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut di kepala. Untuk mengatasi itu semua tentu membutuhkan biaya dan kecukupan dana serta waktu pembenahan yang tak singkat. Sungguh pekerjaan yang tak mudah, karena disisi lainnya, keluhan yang sering disampaikan oleh para petinggi perusahaan pengelola KRL Jabodetabek adalah kekurangan dana. Namun diluar masalah klasik soal kekurangan dana itu, sesungguhnya masih tersedia celah peluang yang masih memungkinkan untuk mendongkrak tingkat kinerja pelayanannya, yang tanpa perlu membutuhkan dana dalam jumlah yang cukup banyak. Salah satunya adalah pembenahan terhadap hal-hal kecil yang sepele di dalam manajemen operasinya, mulai dari awal tahap perencanaan operasi sampai ke tahap pengendalian operasinya. KERNET METROMINI Mungkin perlu diketahui oleh mereka yang belum pernah naik KRL Jabodetabek kelas Commuter Line AC, bahwasanya salah satu syarat menjadi penumpangnya haruslah hafal letak satu persatu setiap stasiun yang dilewatinya. Jika tidak hafal, maka harus mau menerapkan prinsip tak malu bertanya kepada sesama penumpang yang berada disampingnya, di setiap kali rangkaian kereta yang ditumpanginya itu berhenti disetiap stasiun yang dilewatinya. Karena jika malu bertanya, maka tentu akan mengalami seperti kata pepatah, malu bertanya tersesat di jalan, alias akan terlewatkan stasiun yang ditujunya. Mengapa bisa terlewatkan ?. Ya, karena tak ada pemberitahuan kereta yang ditumpanginya itu telah sampai stasiun mana. KRL Jobodetabek kelas Commuter Line AC memang unik dan berbeda dengan Metro Mini atau Kopaja, dimana kernetnya tak pernah alpa untuk berteriak-teriak memberitahukan kepada penumpangnya bahwa perjalanan kendaraan yang ditumpanginya itu telah sampai di halte mana. Perlu dicatat, bahwa rangkaian gerbong yang dipakai oleh KRL Jabodetabek kelas Commuter Line AC ini adalah bekas pakai yang tadinya dipakai sebagai KRL di Jepang. Tentu kondisinya masih layak pakai, karena dihibahkan oleh pemerintah Jepang dalam keadaan masih layak dan mengalami sedikit penyesuaian untuk bisa dipakai di Indonesia. Tapi kondisinya benar-benar masih asli Jepang, sehingga saking aslinya, huruf kanji yang bertuliskan nama rute yang dulu dilayani oleh rangkaian KRL ini masih tetap dibiarkan apa adanya seperti asli sediakalanya, masih menempel di tubuh gerbongnya. Termasuk fasilitas heater pemanas ruangannya juga masih terpasang, walau tak penah difungsikan lagi. Namun begitu, hawa panas yang sering terasakan itu, tidak jelas apakah karena kerusakan sistem AC pendingin udaranya, ataukah masinisnya alpa mematikan fungsi heaternya, entahlah. Termasuk fasilitas speaker pengeras suara di setiap gerbongnya untuk mengumumkan kepada para penumpangnya bahwa rangkaian KRL yang ditumpanginya itu telah sampai di stasiun mana, tentunya juga masih utuh terpasang seperti sediakala waktu rangkaian gerbong itu dipakai oleh pemerintah Jepang untuk melayani mobilitas rakyatnya. KONSER DANGDUT Hal lain yang mungkin juga perlu diketahui oleh mereka yang belum pernah naik KRL Jabodetabek kelas Commuter Line AC, bahwasanya fasilitas moda transpotasi massal berbasis jalan rel ini sungguh mengasyikkan dan tak pernah membosankan bagi penumpangnya, karena penuh dengan hiburan. Saat masih menunggu kereta di peron stasiun, para penumpangnya disuguhi dengan berbagai atraksi musik dari berbagai aliran corak musiknya. Mulai dari aliran dangdut goyang dombret, dangdutnya si Ayu Ting-Ting, sampai lengkingan lagu rock and roll ala Metalica. Hiburan yang disuguhkan oleh para penjual CD dan VCD bajakan yang menggelar lapak hampir disetiap sela-sela bangku tunggu di peron stasiun, sampai pengamen ibu-ibu yang membawa anaknya sambil berkaraoke dikotak musik yang ditentengnya. Belum cukup hanya itu, jika bosan menunggu kedatangan kereta yang sering molor dari jadwalnya, penumpang masih bisa menghibur diri, tanpa perlu beranjak terlalu jauh dari tempat bangku duduk tunggunya dapat membeli penganan kecil yang lapaknya digelar di peron itu. Masih ada lagi, jika membutuhkan oleh-oleh untuk sanak keluarga yang menunggunya di rumah, maka para penumpang juga dapat membeli oleh-oleh buah-buahan yang juga dijajakan berjejeran dengan lapak CD VCD dan penganan kecil itu. Sungguh kenyamanan sajian manajemen KRL Jabodetabek yang luar biasa dalam memanjakan para penumpangnya. Hiburan musik gratis plus lapak penjualan makanan yang teramat strategis letaknya dari jangkauan penumpang yang menunggu kereta. Namun ada juga dampaknya, walau itu mungkin dianggap hal kecil yang sepele saja. Seringkali para penumpang menjadi harus berdiri dekat dengan lintasan kereta lantaran peron penuh sesak oleh para pedangan lapak dan asongan tersebut. Tapi tak mengapa, anggaplah itu sebagai bentuk suatu latihan yang disuguhkan oleh manajemen KRL Jabodetabek untuk para penumpangnya, agar selalu hati-hati dan waspada supaya tak terserempet oleh kereta yang datang dan yang pergi. Hal lainnya, terkadang volume dari musik yang diputar oleh puluhan pedagang CD dan VCD bajakan itu membuat 'sedikit' gangguan bagi para penumpang yang kebetulan sedang membutuhkan menelpon koleganya, atau sedang menerima telpon dari kerabatnya. Tapi tak mengapa, anggaplah itu sebagai bentuk suatu latihan yang disuguhkan oleh manajemen KRL Jabodetabek untuk para penumpangnya, agar selalu hemat pulsa telepon seluler. Hal yang lainnya lagi, musik yang diputar dengan volume cukup ekstrem itu juga membuat 'sedikit' gangguan bagi para penumpang yang kebetulan sedang mendengarkan pengumuman informasi dari pengelola stasiun tentang jadwal kedatangan kereta. Tapi tak mengapa, anggaplah itu sebagai bentuk suatu latihan yang disuguhkan oleh manajemen KRL Jabodetabek untuk para penumpangnya, agar gendang telinga para penumpangnya selalu peka terhadap suara keriuhan yang anarkis itu. BEBEK BARIS Seperti yang sudah disampaikan diatas bahwa kelancaran operasional KRL Commuter Line Jabodetabek ini sering mengalami gangguan di tuas wesel dan persinyalannya. Gangguan yang sering sekali terjadi sehingga mengakibatkan sering sekali jadwal menjadi molor dan penumpang menunggu bertumpuk di setiap stasiunnya. Perlu dicatat bahwa jalur Manggarai – Bogor di rute Jakarta – Bogor ini boleh dikatakan sebagai jalur yang nyaris steril, dalam arti di jalur yang sudah rel ganda itu rute KRL Commuter Line Jabodetabek tak berhimpit menumpuk dengan rute kereta regional ke arah Jawa. Situasi yang sangat berbeda dengan rute Jakarta – Bekasi yang bertumpuk dengan rute kereta ke arah Bandung, Surabaya, Solo, baik kereta penumpang maupun kereta barang. Sehingga, dengan demikian seharusnya manajemen pengendalian operasi di jalur Manggarai – Bogor di rute Jakarta – Bogor ini akan relatif lebih sederhana dibandingkan dengan rute Jakarta – Bekasi. Mengatur perjalanan kereta di di jalur Manggarai – Bogor ini laksana mengatur bebek baris saja. Gangguan wesel seharusnya mudah diatasi karena hampir tak ada percabangan rute di jalur Manggarai – Bogor ini. Demikian pun dengan gangguan sinyal yang tak perlu sampai membuat jadwal molor berlebihan, karena bisa diatasi dengan prinsip bebek baris. Dimana, sementara dalam situasi demikian dapat dipakai cara manual yang mengandalkan komunikasi telepon seluler antar kepala stasiunnya, dengan prinsip kereta bisa diberangkatkan jika sudah di stasiun depannya sudah tak ada kereta. Tapi entah mengapa, gangguan selalu saja terjadi dan membuat molor jadwal yang sampai hitungan jam lamanya. Dan itu tambah menjadi-jadi yang lama tertanganinya apabila gangguan terjadi disaat selepas jam kerja normal, alias diatas jam 5 sore. Mungkin yang bisa jadi itu karena para pegawai KRL Jabodetabek sudah pulang dari tempat tugasnya, sudah berada di rumah kediamannya masing-masing. LAST IN FIRST OUT Dalam dunia manajemen dikenal istilah FILO (First In Last Out) dan FILO (First In Last Out) yang biasanya diterapkan untuk manajemen pergerakan barang di suatu gudang. Tapi entah mengapa, yang terjadi di manajemen operasi KRL Commuter Line Jabodetabek ini sering menggambarkan yang terkesan manajemen LIFO (Last In First Out) yang diterapkan dalam manajemen pengaturan pemakaian rangkaiannya. Ini dengan jelas yang kasat mata dapat seringkali terlihat di stasiun-stasiun awal pemberangkatan, seperti stasiun Bogor atau Bekasi sebagai contohnya. Biasanya kereta yang dengan jadwal keberangkatan sepuluh menit lagi masih harus menunggu kereta yang belum datang, yang masih dalam perjalanan menuju ke stasiun itu. Sedangkan kereta dengan jadwal keberangkatan berikutnya, dua puluh menit lagi, setengah jam lagi, bahkan satu jam lagi, malahan sudah tersedia di peron atau di depo sebagai garasinya. Akibatnya, penumpang yang menunggu menumpuk dan saling sikut menyikut berebutan masuk ke dalam gerbongnya sewaktu kereta itu datang. Memang belum ada laporan kecelakaan yang mengakibatkan kematian akibat berebutan ini. Sehingga mungkin dianggap hal kecil yang sepele, yang bahkan bisa dianggap sebagai bentuk suatu latihan yang disuguhkan oleh manajemen KRL Jabodetabek untuk para penumpangnya, agar sabar dan mengatur diri untuk tertib mengantri. Diluar soal berebutnya penumpang itu, seringkali hal itu membuat jadwal menjadi mundur secara beruntun yang bererotan ke jadwal pemberangkatan berikutnya. Hal tersebut diatas dapat dimaklumi jikalau spesifikasi dan kapasitas antar rangkaiannya berbeda sehingga tak memungkinkan untuk ditukar jadwal pemberangkatannya. Ibarat jadwal pemberangkatan yang semula dilayani oleh pesawat udara jenis Boeing 747 yang tentunya tak bisa digantikan oleh pesawat udara jenis Boeing 737. Namun pertanyaannya, apakah rangkaian gerbong yang dipakai oleh KRL Commuter Line Jabodetabek ini mempunyai masalah perbedaan spesifikasi dan kapasitas antar rangkaiannya seperti halnya Boeing 747 dengan Boeing 737 seperti tersebut diatas sehingga tak mungkin terjadi pertukaran jadwal pemakaiannya ?. HEADWAY dan TRAYEK BUS KOTA Inti dari semua persoalan kapasitas angkut moda transportasi kereta api adalah soal headway, jarak kedatangan antar rangkaian keretanya. Dan celakanya KRL Commuter Line Jabodetabek ini mengalami masalah dalam kekurangan jumlah rangkaian kereta yang dimilikinya untuk mendongkrak kapasitas angkut. Sehingga headway ideal untuk jam-jam sibuknya dapat terpenuhi secara memadai. Masalah yang paling pelik, yang konon itu disebabkan oleh tak dipunyainya dana oleh KRL Commuter Line Jabodetabek untuk pengadaan tambahan jumlah rangkaian kereta yang dibutuhkannya. Disamping juga ada soal di mekanisme pengadaan yang masih harus melalui mekanisme Kementerian Teknis yang membawahinya, yaitu Kementerian Perhubungan. Namun anehnya, ditengah belitan masalah kekurangan jumlah rangkaian kereta itu, masih juga dipertahankan model pengaturan rute ala permainan trayek antara rute Bus Kota bertrayek Bus Dalam Kota dengan Bus Kota bertrayek AKDP dan AKAP yang bertumpuk pada line yang sama sehingga tak efisien dalam jumlah pemakaian armada dan kapasitas lajur jalannya. Salah satu contohnya adalah rute KRL Commuter Line Jabodetabek yang melayani relasi Jakarta – Depok, relasi Jakarta – Bojong Gede, relasi Jakarta – Bogor, yang bertumpuk pada line yang sama, yaitu line Jakarta - Bogor. Rute relasi Jakarta – Bojong Gede, sungguh tak efisien, yang apabila diteruskan menjadi rute Jakarta – Bogor justru akan menambah kapasitas angkutnya. Sama halnya dengan relasi Jakarta – Depok. Khusus untuk relasi Jakarta – Depok ini masih bisa dimengerti jika itu dimaksudkan untuk metode mempercepat putaran pemakaian rangkaian agar bisa dipakai menambah jumlah rangkaian pada jam-jam sibuk di sore atau malam hari. Dalam arti kata, rangkaian kereta baliknya dirubah menjadi kereta KLB (Kereta Luar Biasa) agar cepat balik lagi ke Jakarta, selanjutnya akan menambah jumlah rangkaian yang siap diberangkatkan ke arah Bogor kembali, sehingga akan memperpendek headway. Namun yang terjadi, rangkaian kereta relasi Jakarta – Depok itu setibanya di Depok langsung masuk depo untuk diistirahatkan dan dipakai lagi esok hari. Padahal disaat itu, penumpang masih menumpuk di stasiun-stasiun antara Manggarai sampai Bogor. Mungkin hal tersebut juga diakibatkan berbedanya persepsi kurun waktu peak hour (jam sibuk) yang menjadi pedoman para perancang operasinya dengan realitas yang terjadi di lapangannya. Sesuatu yang sangat bisa dimengerti, karena disangsikan bahwasanya manajemen KRL Commuter Line Jabodetabek mempunyai kurun waktu peak hour (jam sibuk) dan data OD (Origin Destination) para penumpang penggunanya yang valid dan selalu up to date, mengingat sistem kontrol karcis yang diterapkannya itu jelas tak memungkinkan tersedianya data itu secara valid dan selalu up to date. Namun jika para decision makernya mau sesekali rajin menongkrongi rute – rute itu langsung di peron emplasemen naik turunnya penumpang, tidak nongkrong di kantor pusat atau kantin stasiun atau di ruang kepala stasiun saja, maka paling tidak akan didapatkan gambaran kurun waktu peak hour yang real terjadi di lapangan. Sehingga tidak buru-buru memutuskan pada jam 22.30, apalagi pada jam sebelumnya, rangkaian kereta sudah ada yang masuk depo untuk istirahat dan baru dioperasikan kembali pada keesokan harinya. Padahal jam 21.00 – 22.00 masih cukup banyak para pengguna kereta api yang harus dilayaninya. MANAJEMEN MUSYRIK Semua hal tersebut diatas tentu bertolak belakang dengan gambaran mengkilatnya kinerja PT. KAI yang secara makro telah mencatat prestasi yang patut diberikan award sebagai BUMN Inofatif, sebagaimana tertulis di artikel bapak di blog dahlaniskan.wordpress.com yang berjudul : Mengabdikah di BUMN ? Lebih Sulitkah ?. Tak bisa dipungkiri, secara diatas kertas pelaporan kinerjanya, memanglah kinerja keuangan dan kinerja yang jika dilihat secara makronya, barangkali memang perusahaan BUMN yang mengurusi soal perkereta apian ini patut diacungi dua jempol. Bahkan mungkin kalau perusahaan ini sudah tercatat di Bursa Saham maka sangat bisajadi sudah mendapatkan apresiasi dengan kenaikan harga sahamnya. Namun, meminjam istilah yang ada di artikel bapak di blog dahlaniskan.wordpress.com yang berjudul : Neraka dari "Manajemen Musyrik", maka mungkin termasuk juga didalam kategori 'Musyrik' jika perusahaan BUMN yang output produknya adalah jasa pelayanan itu terlihat sangat mengkilat secara kinerja makro dan keuangannya tapi malahan justru jeblok di kinerja real pelayannya kepada publik konsumen penggunanya. Bukankah begitu ya Pak Menteri ?. PRODUCT KNOWLEDGE Hal lainnya, mungkin memang direksi yang ditempatkan di BUMN kereta api ini tak seberuntung bapak sewaktu bapak ditempatkan di PLN. Bisajadi mereka itu menghadapi situasi yang seperti digambarkan dalam artikel bapak di blog dahlaniskan.wordpress.com yang berjudul : Bupati Baru Di Kolam Air Keruh. Budaya di BUMN kereta api mungkin berbeda dengan di PLN, dimana di BUMN kereta api ini masih merupakan warisan budaya birokrasi di zaman perusahaan ini masih berbentuk jawatan, lantaran masih banyaknya veteran-veteran yang masih bersikukuh dengan paradigma lama birokrasi yang bukan melayani tapi malah minta dilayani itu masih bercokol di posisi kuncinya. Bisa jadi veteran-veteran itu bukan berarti mereka para pegawai yang berusia tua saja. Namun juga pegawai berusia muda tapi berparadigma pegawai tua. Dimana jika mengutip istilah bapak, birokrasi itu binantang aneh, yang kalau diingatkan dia ganti mengingatkan (dengan menunjuk pasal-pasal dalam peraturan yang luar biasa banyaknya). Kalau ditegur dia mengadu ke backingnya. Kalau dikerasi dia mogok secara diam-diam dengan cara menghambat program agar tidak berjalan lancar. Kalau dihalusi dia malas. Kalau dipecat dia menggugat. Dan kalau diberi persoalan dia menghindar. Untuk itu, dalam kondisi itu, tentunya para petingginya, jika ingin membenahi hal-hal kecil yang terlihat sepele tersebut diatas itu, haruslah terjun langsung ke lapangan. Jangan hanya 100% percaya dengan laporan dari bawahannya saja. Sehingga dengan demikian, para petingginya mengenal dengan pasti bagaimana sesungguh-sungguhnya hasil output produk dari mesin manajemen perusahaan yang dipimpinnya itu. Karena ini adalah perusahaan jasa pelayanan, maka tentu para petingginya harus mencoba naik kereta api secara berkala. Seperti yang bapak contoh tauladankan beberapa saat yang lalu dengan naik kereta api tanpa pengawalan yang selayaknya penumpang biasa. Syukur-syukur jika para petinggi BUMN kereta api itu mau mencontoh petinggi maskapai penerbangan terkemuka di Jepang, yang setiap harinya, berangkat dan pulang kerja menggunakan kereta api. Dengan demikian tingkat pelayanannya bisa terkontrol setiap harinya. Dan, apabila tak mengenal dengan persis bagaimana sesungguh-sungguhnya hasil output produk dari mesin manajemen perusahaan yang dipimpinnya itu, maka tak mungkin bisa memutuskan kebijakan terbaik untuk membenahi pelayanannya. Setujukah bapak dengan itu ?. RESHUFFLE KABINET Bapak Menteri, semoga uneg-uneg yang disampaikan diatas itu tak dianggap sebagai menggurui para direksi dalam mengelola perusahaan perkereta apian. Karena sungguh disadari bahwa para penumpang pengguna kereta api itu tingkat kemampuan dan keahlian serta profesionalitasnya yang tentu jauh dibawah para direksi perusahaan kereta api yang untuk menduduki posisinya saja harus lulus fit and proper test dari para anggota DPR ang terhormat. Para pengguna kereta api itu rata-rata hanyalah karyawan dengan gaji yang hanya memadai untuk membayar ongkos tiket kereta api saja. Hal yang tentu jauh berbeda dengan para direksi BUMN yang bergaji besar dan bermobil dinas Toyota Camry. Para direksi BUMN perkereta apian itu tentu sangat ahli dalam prinsip manajemen transportasi dan pengelolaan perusahaan serta financial engineering. Akan tetapi pengetahuan dan pengenalan mereka atas hasil output dari mesin manajemen perusahaan yang dipimpinnya itu pasti dibawahnya para penumpang kereta api yang disetiap hari kerjanya menggunakan jasa pelayanan yang dihasilkan oleh perusahaan yang dipimpin oleh para direksi BUMN perkereta apian itu. Akhirulkalam, semoga ada reshuffle kabinet jilid 2, sehingga pak Dahlan Iskan bisa menempati posisi yang lebih strategis lagi, agar bisa lebih memberikan pencerahan dan kemaslahatan bagi rakyat banyak. Dan dapat mewujudkan bangkitnya transportasi massal berbasis rel dalam tata arsitektur transportasi nasional baik untuk transportasi antar kota maupun dalam kota, terutama untuk di Jabodetabek, sehingga beban jalan raya menjadi berkurang dan kemacetan parah tak berlanjut diwariskan ke anak cucu. Amin, Allahumma Amin Ya Karim. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh * Dahlan Iskan dan Manajemen Musyrik di KRL Jabodetabek http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2011/12/10/dahlan-iskan-dan-manajemen-musyrik-di-krl-jabodetabek/# * |
Nama Penulis*: | Bocahndeso |
Website Penulis: | http://www.kompasiana.com/bocahndeso |
Powered by EmailMeForm
0 comments