Menakar Pendidikan Di Indonesia
Peringatan Hardiknas ditandai dengan aksi demo yang digelar di sejumlah kota di Indonesia.
Massa kecewa terhadap pemerintahan SBY-Boediono yang dinilai gagal
dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu dan murah bagi rakyat.
Aksi demo itu antara lain terjadi di Surabaya
di mana ratusan orang yang tergabung Baris Rakyat Melawan (BRM)
meneriakkan yel-yel penolakan terhadap komersialisasi pendidikan,
menuntut pencabutan Undang-Undang (UU) Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional,
menolak pengganti Badan Hukum Milik Negara (BHMN), penghapusan ujian
nasional dan meminta diwujudkannya suatu sistem pendidikan yang
berkualitas dan terjangkau oleh semua kalangan karena saat ini rakyat
miskin tak bisa mengenyam pendidikan bermutu akibat mahalnya biaya
pendidikan. Penjualan bangku pun kini menjadi sesuatu yang legal, lewat
program bernama sekolah berstandar internasional (SBI) atau rintisan
berstandar internasional (RSBI).
Undang-Undang Sisdiknas 2003 memperkenalkan klasifikasi sekolah baru.
Sekolah itu antara lain disebut Sekolah Bertaraf Internasional (SBI),
Sekolah dengan Kategori Mandiri (SKM), dan kelompok Sekolah Biasa (SB).
Pada SBI, pihak penyelenggara pendidikan diberi ruang untuk menggunakan
silabus pembelajaran dan penilaian yang umumnya dipakai pada sekolah
menengah di negara-negara yang tergabung dalam OECD.
Kebijakan ini pun kemudian ”rame-rame” direspons oleh sekolah-sekolah di Tanah Air,
apalagi dalam Bab XIV pasal 50 ayat 3 Undang-undang No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pemerintah daerah
harus mengembangkan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan menjadi
bertaraf internasional, tak terkecuali di Kabupaten Jombang, Salah
satunya adalan SMA Negeri 2 Jombang yang notabene SMA favorit di
kabupaten Jombang tak mau ketinggalan untuk ikut mendirikan kelas SBI
ini.
Jika SBI ini diterapkan dengan pembiayaan penuh dari pemerintah dan
diperuntukkan seluruh siswa di Indonesia, mungkin tidak akan menjadi
masalah. Namun, yang terjadi tidaklah demikian. Sekolah-sekolah yang
mulai membuka “jalur” SBI ini nyatanya memungut dana belasan juta rupiah bagi setiap siswa yang ingin masuk jalur ini.
Meskipun SBI ini merupakan salah satu bentuk terobosan Depdiknas untuk
mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia, namun tak bisa dipungkiri ada
beberapa hal yang cukup merisaukan dengan berkembangnya SBI ini di
Indonesia
Mahalnya kelas SBI jelas hanya bisa dijangkau oleh orang tua berpenghasilan besar. Jika demikian bagaimana dengan siswa cerdas
yang orang tuanya hanya pedagang sayur, tukang becak, atau buruh cuci,
tidakkah siswa ini berhak mengenyam SBI? Tidakkah mereka berhak atas
masa depan yang cerah dengan mencicipi pendidikan berkualitas?
Hal ini jugalah yang melatar belakangi tak tercapainya target program bidik misi yang digulirkan pemerintah sejak pada November
tahun lalu. Dari target 3.000 pendaftar, formulir yang masuk ke Unair
hanya 1.180 aplikasi. Begitu juga ITS. Mematok target 4.000 peserta,
yang mendaftar hanya 2.200 calon mahasiswa. Angka itu jelas jauh dari
harapan.
Ini dikarenakan sulitnya mencari siswa yang memenuhi tiga syarat lengkap
yang ditetapkan. Yaitu, berasal dari keluarga tidak mampu, berprestasi,
dan mau melanjutkan sekolah. Banyak siswa yang berasal dari keluarga
miskin, tetapi dari segi prestasi kurang. Kalaupun ada siswa miskin yang
berprestasi, mereka malah enggan kuliah. ''Impitan ekonomi membuat mereka lebih memilih untuk mencari pekerjaan daripada melanjutkan sekolah.
Dengan kata lain tak tercapainya target pendaftar disebabkan langkanya
siswa miskin yang berprestasi yang dikarenakan mereka kalah bersaing
de¬ngan siswa yang mampu. Keterbatasan dana membuat siswa miskin tidak
bisa mengikuti pelajaran tambahan. ''Fasilitas mereka pun kurang jika
dibandingkan dengan teman-teman dari keluarga mampu yang bisa bersekolah
di SBI. Mulai kurangnya bacaan hingga keterbatasan mengakses internet.
Maka kualitas lulusannya jelas beda.
Bidik Misi merupakan program yang dibesut untuk memutus rantai
kemiskin¬an. Persyaratan utama untuk mendaftar program beasiswa itu
adalah siswa SMA/SMK/MA/MAK atau sederajat yang dijadwalkan lulus pada
tahun ini. Pendaf¬tar merupakan siswa atau calon mahasiswa dari keluarga
yang secara ekonomi kurang mampu dan berprestasi, baik di bidang
akademik/kurikuler, ko-kurikuler, maupun ekstrakurikuler,
yang diketahui
oleh kepala sekolah/pimpinan unit pendidikan masyarakat (dikmas) kabupaten/kota.
Adapun prestasi akademik/kurikuler yang dimaksud adalah peringkat 25
per¬sen terbaik di kelas, sedangkan prestasi pada kegiatan kokurikuler
dan/atau ekstrakurikuler minimal peringkat ke-3 di tingkat kabupaten/kota dan harus sesuai dengan program studi yang dipilih.
Dana beasiswa dan biaya pendidikan yang diberikan melalui program Bidik Misi 2010 sebesar Rp 5 juta per mahasiswa per semester
yang diprioritaskan untuk biaya hidup. Jumlah penerima beasiswa pada
tahun anggaran 2010 adalah 20.000 orang yang disebarkan melalui
perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia.
Alangkah lebih baiknya jika program bidik misi ini dimulai dari SMA
dengan cara menjaring siswa miskin yang berprestasi mulai dari SD dan
SMP yang nota bene
pendidikan masih gratis sehingga akan lebih banyak siswa miskin
berprestasi yang bisa dijaring, yang kemudian memasukkan mereka yang
berprestasi ini kesekolah SBI dengan biaya dari pemerintah plus diberi
tambahan biaya beli buku dan biaya lain-lain agar kualitasnya setara
dengan siswa SBI lainya. Dengan langkah seperti itu saya yakin tujuan
mulia program bidik misi untuk memutus mata rantai kemiskinan akan lebih
cepat tercapai.
SEMOGA BERMANFAAT :)